MANADO, JURNALHIMPASUS.COM – Pengadilan Negeri Manado pada Rabu, 15 Oktober 2025, menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada terdakwa Jatiman Rahman atas tindak kekerasan seksual yang dilakukannya terhadap salah satu siswi di sebuah Pondok Pesantren di Minahasa. Majelis hakim yang memimpin persidangan adalah Yance Patiran, S.H., M.H. Selain pidana penjara, majelis hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp 50 juta (subsider).
Putusan tersebut sesuai dengan tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Vera Ervina Muslim, S.H., yang menilai terdakwa terbukti melanggar ketentuan pidana dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Meski menerima putusan pidana, sekelompok pihak menilai hak korban belum terpenuhi sepenuhnya. Gerakan Perempuan Sulut (GPS) dan Koalisi Anti Kekerasan Seksual (KAKSBG) menyampaikan apresiasi atas kerja majelis hakim dan langkah progresif JPU dalam menuntut pelaku. Namun kedua organisasi itu menyayangkan bahwa dalam pembacaan putusan tidak terdapat penetapan hak restitusi bagi korban.
Hak restitusi dan dasar hukum
Ketiadaan penetapan restitusi dalam putusan ini menjadi sorotan karena ketentuan hukum yang mengatur pemulihan hak korban telah semakin kuat. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), restitusi didefinisikan dan dijamin sebagai salah satu hak korban. Pasal 1 angka 20 UU TPKS menjelaskan:
“Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian material dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.”
Selain itu, Pasal 16 ayat (1) UU TPKS mengatur kewajiban hakim untuk menetapkan besarnya restitusi dalam tindak pidana kekerasan seksual yang ancaman pidananya 4 (empat) tahun atau lebih, dengan bunyi yang menguatkan posisi restitusi sebagai bagian dari putusan pengadilan:
“Selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya, menurut ketentuan undang-undang, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.”

Lebih jauh, Pasal 30 UU TPKS merinci jenis pemulihan yang bisa diberikan kepada korban, termasuk restitusi dan layanan pemulihan, yang meliputi:
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. ganti kerugian akibat penderitaan langsung;
c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis;
d. ganti kerugian lainnya akibat tindak pidana kekerasan seksual.
Prosedur permohonan restitusi dan kewenangan hakim
Secara prosedural, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pemberian Restitusi dan Kompensasi mengatur tata cara pengajuan restitusi. Pasal 8 ayat (3) menyatakan kewajiban penuntut umum apabila permohonan restitusi diajukan sebelum berkas perkara dilimpahkan, yakni memuat permohonan tersebut dalam surat dakwaan dan memasukkan berkas permohonan ke dalam berkas perkara serta menyampaikan salinannya kepada terdakwa atau penasihat hukumnya. Namun dalam praktik, apabila permohonan restitusi telah masuk ke berkas perkara atau tersedia pada berkas perkara—misalnya melalui perhitungan yang diajukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)—majelis hakim tetap memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan dan memutus restitusi meskipun JPU tidak secara eksplisit mencantumkannya dalam tuntutan. Hal ini relevan bagi perkara Jatiman Rahman karena LPSK telah mengeluarkan perhitungan restitusi.
Perhitungan restitusi oleh LPSK
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatatkan perhitungan besaran restitusi untuk perkara ini sebesar Rp 29.343.000, yang tertuang dalam Surat No: R-4609/5.2.HSKR/LPSK/8/2025 tertanggal 11 Agustus 2025. Menurut GPS dan KAKSBG, berkas perhitungan restitusi tersebut telah dikirimkan oleh LPSK ke Pengadilan Negeri Manado dan Kejaksaan Negeri Manado, sehingga majelis hakim seharusnya dapat langsung menimbang dan menetapkan kompensasi sesuai wewenangnya.
Yurisprudensi relevan
Sebagai pembanding praktik pengadilan, terdapat yurisprudensi terkait yang dirujuk para aktivis: sebuah perkara pemerkosaan berkelompok terhadap anak yang diputuskan pada 5 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri Airmadidi. Dalam kasus tersebut, berkas perhitungan restitusi diserahkan oleh penasihat hukum korban satu hari sebelum sidang putusan (H-1). Pada hari berikutnya, majelis hakim memutuskan untuk memasukkan hak restitusi korban ke dalam putusan meskipun jumlah yang ditetapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan perhitungan awal dan walaupun JPU tidak memasukkannya dalam tuntutan. Kasus Airmadidi ini menjadi rujukan bahwa hakim mempunyai ruang untuk menetapkan restitusi berdasarkan berkas yang tersedia.
Rencana langkah lanjutan
Menanggapi belum dipenuhinya hak restitusi korban dalam putusan Jatiman Rahman, GPS dan KAKSBG menyatakan akan menempuh jalur hukum lanjutan untuk memperjuangkan hak tersebut. Kedua organisasi juga menekankan perlunya peningkatan pemahaman aparat penegak hukum di Sulawesi Utara terhadap mekanisme restitusi dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Minimnya penerapan restitusi dalam perkara kekerasan seksual di daerah ini dinilai mencerminkan kurangnya pemahaman atau penerapan prosedur yang seharusnya menjamin hak korban. Kondisi tersebut dianggap sebagai tantangan serius bagi upaya pemenuhan hak-hak korban dan penegakan prinsip pemulihan di luar aspek pidana semata.
Perkembangan selanjutnya—termasuk langkah hukum lanjutan yang akan ditempuh oleh organisasi korban—akan menjadi hal yang dipantau oleh publik dan pemangku kepentingan terkait pemenuhan hak restitusi di sistem peradilan pidana di daerah ini. (Aldi)















